Selasa, 15 Desember 2009

IKLAN HIPER

ABSTRAK

Iklan merupakan wacana realitas yang hiperrealistik. Pencitraan dalam iklan tidak lepas dari kreativitas estetik, mengacu pada realitas tetapi bukan realitas itu sendiri. Dalam hal ini citra perempuan cantik dapat lebih cantik, perempuan seksi lebih seksi.

PENDAHULUAN
Perempuan cantik, berkulit putih lembut, berperawakan tinggi semampai, berambut hitam panjang tergerai dengan penampilan seksi menawan dan tatapan mata tajam menantang merupakan pemandangan yang tidak asing lagi di dunia iklan. Perempuan sudah menjadi komuditas yang agaknya tidak tergantikan. Kehadirannya dalam iklan sangat diperlukan. Eksploitasi pesona perempuan bukan menjadi sesuatu yang tabu lagi, tetapi justru menjadi bahan pencitraan diri perempuan.

Dengan kecanggihan teknologi maupun cara lain, produsen iklan membentuk citra cantik menjadi lebih cantik dengan segenap karakteristik, seperti lebih mancung hidungnya, lebih binar matanya, atau lebih tinggi badannya hingga membuat citra tersebut memiliki nilai yang jauh lebih ideal. Keadaan ini menurut Baudrillard (dalam Ritzer, 2004:163) sebagai sebuah rekayasa penggambaran kenyataan yang hiperrealistik. Seiring membanjirnya iklan mengisi ruang kehidupan ini, tidak asing lagi, citra hiperrealistik menjadi visualisasi objek dari perempuan. Masalahnya, mengapa citra hiperrealistik ini cenderung melekat pada perempuan, dan bagaimana dampak dari kecenderungan ini bagi perempuan?

WACANA IKLAN
Diakui atau tidak, dewasa ini iklan sudah menjadi wacana yang mengilhami, menyihir kesadaran orang untuk mengikuti citra yang ditawarkannya. Iklan telah merasuki relung-relung kehidupan ini. Orang sudah tidak lagi sadar akan nilai guna suatu produk. Seseorang mengkonsumsi produk tidak pada pertimbangan terhadap nilai guna, akan tetapi pada mimpi terhadap citra seperti yang digambarkan iklan. Produk dalam hal ini hanya dipandang sebagai komoditi yang dapat memenuhi harapan dan impian tampil bak bintang (iklan kecantikan) atau termasuk kelompok masyarakat tertentu (iklan ektronik, otomotif) yang pada gilirannya dapat memberikan kebanggaan dan rasa tampil beda.

Sejalan dengan pengertiaannya, iklan merupakan wacana pesan yang dalam bentuk aktivitas menghadirkan dan mempromosikan ide, barang, atau jasa secara nonpersonal yang dibayar oleh sponsor tertentu. Menurut Institut Praktisi Periklanan Inggris dalam Jefkins (1994: 5), iklan merupakan pesan penjualan yang paling persuasif yang diarahkan pada calon pembeli yang paling potensial atas barang atau jasa tertentu.

Iklan sebagai sebuah wacana merupakan sistem tanda yang terstruktur menurut kode- kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap, dan keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna, yakni makna yang dikemukakan secara eksplisit di permukaan makna dan makna implisit di balik permukaan tampilan makna (Noviani, 2002: 79). Wacana iklan cenderung ekspresif dan impresif. Sifat ekspresif dalam iklan mendorong pengungkapan pesan secara benar dan tepat hal-hal yang istimewa dari produk atau ide yang akan disampaikan. Adapun sifat impresif dimaksudkan agar pesan yang disampaikan dapat selalu diingat oleh khalayak dan berkesan simpatik.

Sebagai model wacana, iklan merupakan sebuah model komunikasi yang khas, yang dengan kekhasan ini, wacana iklan berbeda dengan wacana lisan dan tulis. Salah satu kekhasan dalam wacana iklan yang paling menonjol adalah mencoba mengkomunikasikan citra secara maksimum dalam waktu minimum, sehingga dapat mencapai sasaran dan memberi keuntungan produsen (Alfin Tofler, 1987: 152)

Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila iklan merupakan wacana tentang realitas citra yang menggambarkan, menstimulasi, dan memprojeksikan dunia mimpi hiperrealistik. Citra yang tampak hadir dalam iklan bukanlah realitas sesungguhnya. Kendati, iklan bukanlah cerita bohong, tetapi juga bukan kebenaran itu sendiri. Produk yang dijual iklan lewat bahasa iklan bukanlah semata-mata nilai atau fungsinya, melainkan peran sekundernya yaitu, citra, harapan, impian, prestis, status, atau bahkan eksploitasi ketakutan-ketakutan seseorang atas kehidupan sosialnya. Dalam analisis historis, William (dalam Suharko, 1998: 324) menegaskan bahwa iklan telah menjadi komponen vital dalam organisasi dan reproduksi kapital yang mampu mentransformasikan komoditi ke dalam petanda glamour yang menghadirkan dunia imajinasi.

IKLAN SEBAGAI MEDIA PERSUASIF
Pada dasarnya, iklan dirancang untuk mempengaruhi, membujuk, dan memikat konsumen untuk loyal, percaya, yakin, puas, bahkan fanatik terhadap produk yang ditawarkan. Pada mula pemunculannya di Indonesia, iklan sebagai wacana persuasif merupakan bagian penting dari aktivitas pemasaran, telah hadir di Hindia Belanda sejak tahun 1744 bersamaandengan terbitnya surat kabar pertama Bataviasche Nouvelles. Media ini banyak memuat lembaran warta iklan yang melayani kepentingan perdagangan maupun kepentingan komersil. Seiring pertumbuhan perekonomian Hindia Belanda, yakni dengan membanjirnya produk-produk industri, kerajinan, transportasi dan jasa hiburan modern, iklan dipandang sebagai sarana komunikasi yang efektif dapat menyebarluaskan informasi komersial agar dapat menjangkau pasar konsumennya. Lewat iklan, para produsen dapat menerobos berbagai lapisan masyarakat yang menjadi target pasarnya (Riyanto, 2003: 25-26).

Iklan dipandang sebagai sarana komunikasi yang cukup efektif dalam membujuk atau mempengaruhi orang. Oleh karena itu tak berlebihan bila iklan sebagai media persuasif berusaha menyampaikan pesan dengan tampilan bahasa yang menarik dan sentuhan cita rasa estetik yang atraktif. Seiring perkembangan teknologi, iklan tampil dalam kemasan bahasa yang menarik dilengkapi rangkaian gambar, citra, simbol dalam kesatuan komposisi yang artistik.

Kesan artistik dan menarik pada iklan agaknya merupakan suatu keharusan. Cara tersebut dipandang cukup efektif dalam merebut perhatian publik. Mengingat derasnya arus informasi di media massa, merebut perhatian publik mutlak diperlukan iklan. Ketatnya persaingan produk dan merk dagang menuntut iklan harus bersaing dengan iklan yang lain, di samping merebut perhatian publik dari informasi yang lain. Seperti ditegaskan oleh Sternthal & Craig (1982) bahwa di negara yang terkena era globalisasi, setiap hari rata-rata orang dibombardir dengan ribuan pesan komersial yang tak sebanding dengan kapasitas orang menyerap pesan. Boleh dikata kurang dari satu persen pesan media yang dapat direaksi publik, termasuk di dalamnya iklan. Keadaan tersebut menggambarkan iklan harus bersaing dengan iklan maupuninformasi yang lain. Oleh karena itu tidak mengherankan bila iklan harus menampilkan baik bahasa dan segenap aplikasi yang mendukung dapat menarik perhatian publik dan sekaligus dapat memberi citra produk yang ditawarkan.

Keefektifan pesan memegang peranan penting dalam iklan. Orang akan membaca iklan atau mengabaikannya setelah dua detik pertama, maka dua detik kemudian harus dimanfaatkan untuk menarik perhatian Dyer (1982). Iklan di samping menarik, juga efektif dalam pesan, yakni mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara tepat dengan masyarakat yang dituju sekaligus memberi citra produk yang dapat membujuk Seperti ditegaskan Khasali (1992:87) bahwa iklan harus memperhatikan aspek singkat, padat kata-kata dan ilustrasi menarik serta komunikatif, disamping pertimbangan kesederhanaan dan sopan dengan penekanan pada keyakinan atas apa yang ditulisnya. Sehubungan dengan hal itu, tentunya iklan harus mempertimbangkan faktor sosial-budaya.dan dalam perancangannya kode- kode sosial menjadi pertimbangan agar terjadi frame of reference. Dalam pada itu untuk memasuki konteks pasar, secara disadari atau tidak, konsep ideologi sosial ikut dibahasakan.

Pertimbangan terhadap kode-kode sosial mengharuskan iklan dalam proses kreatif tetap pada batasan bagaimana konvensi sosial berlaku. Seperti bagaimana masyarakat memandang hubungan antara laki-laki dan perempuan dan bagaimana masyarakat memandang citra masing- masing sesuai dengan stereotip peran sosialnya, serta keterkaitan produk dengan citra mereka sesuai dengan konteks sosial yang berlaku. Dalam hal ini, iklan merupakan teks sebagai praktik sosial yang harus dipandang sebagai kesatuan makna yng berdimensi sosial politik dan tidak dapat dipahami tanpa penyertaan dimensi konteks sosialnya. Sebagai misal iklan produk pelangsing tubuh, tentunya tak lepas dari ukuran–ukuran atau standar nilai yang ada dalam masyarakat. Tubuh langsing mutlak diperlukan oleh perempuan dalam menunjang penampilannya. Langsing dekat dengan kecantikan dan hal itu merupakan dambaan hampir seluruh perempuan. Dengan kecantikan tubuhnya, perempuan merasa lebih percaya diri berada di dunia publik dan merasa lebih diperhatikan oleh lawan jenisnya.

Menurut John Fiske (1987: 5-6), dalam penampilan objek atau gagasan paling tidak perlu dipertimbangkan bagaimana objek atau gagasan tersebut harus ditandai “encode’ sebagai realitas, di samping pertimbangan bagaimana objek atau gagasan tersebut memenuhi konvensi-konvesi secara ideologis, yakni bagaimana kode-kode representasi dihubungkan dan diorganisasikan ke dalam koherensi sosial seperti kelas sosial, atau kepercayaan dominan yang adadalam masyarakat (patriarki, kapitalis, dan sebagainya). Berkaitan dengan hal ini, iklan selalu mempertimbangkan aspek seperti tuturan/bahasa, ekpresi pengucapan/gambar, pakaian, dengan perangkat teknis yang mendukung. Seperti halnya dalam bahasa tulis alat teknis itu tampak dalam pemilihan kata, kalimat atau proposisi, dan grafik. Dalam bahasa gambar/televisi, alat itu bisa berupa teknik pencahayaan, editing musik dan atribut lain yang memenuhi selera pasar/social, misalnya iklan produk kecantikan, sebagai realitas akan ditandakan dengan perempuan yang ditampilkan berkulit mulus, putih, berambut panjang, bertubuh tinggi semampai, berpakaian glamour dan seksi, di dekat laki-laki yang sedang memperhatikannya atau khalayak yang berdecak kagum dibuatnya.

Citra cantik sudah menjadikan objek komoditi (kecantikan) menjadi semakin bermakna. Komoditi sendiri tidak bermakna, ia menjadi bermakna manakala manusia merefleksikan diri dari seseorang, situasi, ataupun objek yang sebelumnya sudah mempunyai nilai (Wiliamson, 1991: 11).

Pencitraan dan disertai bujuk rayu sebagai teknik persuasi dikemas bahasa iklan dalam tampilan visual yang kreatif dan memikat. Dengan kekuatan persuasinya ini, khalayak dan konsumen sebagai target pasar dirangsang untuk seakan-akan merasakan bahwa produk itu sebagai suatu kebutuhan atas dasar rangkaian angan-angan. Dalam jaring-jaring manipulasi iklan, konsumen dengan segala kebebasan pilihannya dijerat menjadi pelanggan yang sepenuhnya percaya bahwa produk yang ditawarkan dapat memenuhi mimpi-mimpinya. Dalam gaya komunikasi hiperbolik yang berlebihan yang sering disebut ‘puffury’ (Riyanto, 2003:23), konsumen dibuai harapan menjadi yang nomor satu, terpilih, terbaik, termodern, cantik, dikagumi dengan kepemilikan dan pengkonsumsian aneka produk komoditas modern .

HIPER-REALITAS DAN HEGEMONI
Mengacu istilah yang populer dari Baudrilard tentang ‘hyperreality’, iklan, utamanya yang berkaitan dengan perempuan, memiliki kaitan erat dengan istilah ini. Ketika berbicara tentang hiperrealitas, sebuah eksistensi akan bersinggungan dengan banyak hal tentang sesuatu yang asli dengan yang palsu, sesuatu yang nyata dengan yang tidak nyata. Iklan sebagai media yang memiliki misi untuk memberikan pencitraan yang bersifat komersil terhadap sesuatu produk mutlak memiliki nilai-nilai artistik yang mengundang ketertarikan khalayak (konsumen) paling tidak perhatian tehadap iklan tersebut, selanjutnya menyukai produk yangditawarkan dan tahap terakhir adalah mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Nilai-nilai artistik yang mutlak dimiliki sebuah iklan ini membutuhkan sebuah pengkondisian dan reproduksi kesadaran yang terus menerus melalui manipulasi simbol-simbol sehingga pesan yang dibawa iklan bisa tercapai dengan cara yang sangat halus.

Baudrilard (dalam Storey, 2004:244) memaknai hiperrealitas sebagai sebuah dunia yang memiliki perbedaan antara yang simulasi (tidak riil) dengan yang riil terus menerus bergantian. Antara yang riil dengan yang simulasi terus saling menghilang. Akibatnya yang riil dan yang tidak riil dijalani tanpa perbedaan. Kondisi ini seringkali menempatkan simulasi (yang tidak riil) dianggap lebih riil dibanding dengan riil itu sendiri, dan bahkan dianggap lebih baik atau ideal daripada yang riil. Ketika banyak keadaan tidak lagi merujuk pada segala sesuatu, di mana perbedaan antara yang nyata dan yang imajiner tidak ada lagi, realitas serta merta terkontaminasi oleh simulasi, maka dunia manupulasi, dunia rekayasa menjadi hal yang tidak mustahil. Pada titik ini simulasi menjadi lebih mewakili daripada realitas yang ada.

Sebagaimana dicontohkan di atas tentang iklan produk kecantikan, sebagai realitas akan ditandakan dengan perempuan yang memiliki karakteristik-karakteristik berkulit mulus, putih, berwajah cantik dengan mata indah berhidung mancung, bibir tipis menawan, berambut panjang hitam mengkilat, bertubuh tinggi semampai, berpakaian glamour dan seksi, di dekat laki-laki yang sedang memperhatikannya atau khalayak yang berdecak kagum dibuatnya. Simbol wanita tersebut memiliki karakteristik spesifik yang pada dunia nyata sebenarnya karakteristik- karakteristik tersebut bahkan mungkin sangat langka dimiliki oleh perempuan yang ada di dunia ini. Ironisnya, dalam kenyataanya karakteristik yang dicitrakan sebagai kondisi ideal perempuan yang ditampilkan dalam iklan tersebut ternyata samasekali bukan karena produk yang diiklankan, sehingga pencitraan perempuan dengan kondisi yang dianggap ideal tersebut hanya bersifat semu dan hanya ada pada dunia mimpi perempuan-perempuan yang terhegemoni dengan iklan tersebut.

Hegememoni seperti yang dirumuskan Gramsci merupakan tingkat konsensus yang tinggi dari kelas yang ‘diatur’ oleh kelas ‘intelektual organik’ dengan aktif mendukung dan menerima nilai-nilai, ide, tujuan dan makna budaya yang mengikat dan menyatukan mereka pada struktur yang ada. Proses ini berjalan perlahan dan tanpa disadari oleh target, dan hal ini merupakan upaya kelas dominan untuk mengatasi konflik (Gramsci dalam Storey, 174-175).

Penanaman citra cantik dalam pemahaman nilai baru tidak terjadi serta-merta atau secara spontan., tetapi melaui proses yang panjang dan berulang-ulang. Proses pencitraan yang berpegang pada ‘resistensi’ dan ‘inkorporasi’, yakni masih mempertahankan sifat cantik dalam penyatuan citra cantik yang dipandang lebih ideal menurut ukuran kekinian. Sebagai contoh bintang iklan kecantikan sebagian besar didapat melalui sebuah proses yang dinamakan audisi. Perempuan tersebut memiliki wajah cantik dengan rambut yang indah bahkan sebelum mengikuti audisi, terpilih karena memiliki karakteristik cantik, bukan karena dia adalah konsumen setia dari produk yang akan diiklankan, bahkan bisa jadi dia adalah konsumen setia dari produk lain yang merupakan kompetitor produk yang akan diiklankan. Tanpa menyinggung lebih lanjut tentang faktor keturunan, kondisi demografis atau hal-hal lain yang bersifat genetis dari perempuan ideal tersebut, iklan kecantikan ini telah memiliki cukup syarat untuk dikategorikan sebagai manipulasi simbol yang bersifat semu dan tidak nyata guna keperluan menggambarkan citra cantik yang diidealkan. Kadar kesemuan tersebut menjadi lengkap ketika figur yang memiliki korelasi nisbi dengan produk iklan di dukung oleh kecanggihan teknologi yang memungkinkan objek untuk tampil dengan kemasan yang serba superior melalui simbol- simbol yang sudah direproduksi secara terus menerus.

Dalam hal ini simbol-simbol tersebut secara tidak langsung telah mendapat standardisasi dari masyarakat sebagai hal-hal yang dianggap ideal atau lebih baik. Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa kulit putih lebih bagus dari kulit hitam, rambut yang lurus lebih bagus daripada rambut keriting, hidung yang mancung lebih bagus daripada hidung yang pesek, mata lebar lebih bagus daripada mata sipit, badan yang tinggi lebih bagus daripada badan yang pendek serta banyak hal lagi tentang fisik yang seakan-akan telah memiliki parameter yang dapat diukur kualitasnya. Hal-hal yang berkaitan dengan standardisasi, khususnya yang berkaitan dengan kecantikan perempuan seperti ini terjadi bukan melalui sebuah sosialisasi atau doktrinasi yang bersifat instan dalam waktu yang singkat, tidak juga dengan proses yang melibatkan campur tangan penguasa. Segala sesuatu terjadi secara perlahan-lahan tanpa disadari oleh masyarakat melalui tayangan-tayangan yang membuat konstruksi sosial tentang segala sesuatu yang dianggap ideal, sebuah proses luar biasa yang memiliki efek tidak kalah luarbiasanya.

Produsen iklan akan menggunakan manipulasi simbol-simbol dalam iklan, baik melalui kecanggihan teknologi maupun cara lain untuk membuat model iklannya menjadi lebih putih kulitnya, lebih lurus rambutnya, lebih mancung hidungnya, lebih binar matanya, atau lebih tinggi badannya hingga membuat obyek tersebut memiliki nilai yang jauh lebih idealtentang perempuan berdasarkan standardisasi yang telah mengkonstruksi masyarakat Dengan sifatnya yang impresif, Iklan berusaha merepresentasikan hubungan khayali antara kondisi riil dengan eksistensi. Keadaan ini menurut Williamson (dalam Storey, 2004: 171), iklan telah bersifat ideologis. Dengan cara ini ideologi merupakan kreasi subjek yang menjadi subjek praktik material ideologi. Identitas sosial terkait dengan apa yang dikonsumsi alih-alaih apa yang diproduksi.

Dalam konteks ideologis, iklan akan menggiring pada suatu kepercayaan bahwa objek yang telah dimanipulasi dan disampaikan secara terus menerus kepada masyarakat memiliki nilai kebenaran dan keaslian yang hakiki. Padahal di sisi lain objek sebenarnya tidak memiliki nilai setinggi daripada yang diberikan masyarakat terhadap objek yang telah dimanipulasi tersebut Objek yang dijadikan sosok ideal tersebut sebenarnya bukanlah sebuah sosok nyata yang bisa dicapai, apalagi hanya dengan menggunakan produk yang diiklankan..Hal ini barangkali dekat dengan apa yang disebut Baudrilard sebagai hyperrealitas, dimana visualisasi obyek dalam iklan tersebut simulasi dan sama sekali tidak mewakili objek sebenarnya.

CITRA PEREMPUAN SEBAGAI OBJEK
Terlepas dari peran utamanya sebagai wahana komunikasi penyampaian pesan-pesan komersial yang persuasif, realitas kemasan iklan ternyata juga mampu berperan sebagai pembentuk citra. Melalui iklan, citra dibentuk, didektekan, dan dikonstruksikan ke dalam kesadaran yang bermuara pada bujukan untuk mengkonsumsi suatu produk tertentu. Diakui atau tidak perempuan merupakan sasaran target yang utama bagi sebagian besar produk. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila secara kuantitas perempuan sebagai model dalam iklan melebihi model yang lain. Perempuan lebih banyak ditampilkan. Boleh dikata hampir 90 persen iklan menggunakan perempuan sebagai medianya. Apakah ini sebagai pertanda perempuan turut berkiprah membentuk citra publik yang berorientasi pada citra feminin yang hiperrealistik? Paling tidak harus dilihat dari bagaimana perempuan diposisikan atau bagaimana citra perempuan itu direpresentasikan dalam media.

Posisi perempuan di ranah publik, seperti dalam media harus dilihat dari wacana seksualitas yang berkembang. Michel Foucoult merumuskan bahwa wacana seksualitas tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan. Dalam hal ini seksualitas tidak semata memandang relasi jender laki-laki dan perempuan hanya dari sisi seks, berahi atau tubuh , tetapi jugakonstruksi sosial, politik, budaya bahkan Tuhan (Boudrilland, 2000: x). Kekuasaan ada dimana-mana dan mengacu sebuah tatanan disiplin yang dihubungkan dengan sejumlah jaringan. Kekuasaan bukan sesuatu struktur atau institusi, bukan pula suatu kekuatan yang dimiliki, tetapi nama yang diberikan pada suatu strategi kompleks dalam suatu masyarakat dengan cara menandai dan mekanisme tertentu. Dalam pewacanaan tentang seksualitas bukanlah tentang seksualitas an sich, tetapi dalam menciptakan mode seksualitas yang mewujud sebagai formasi diskursif, dan bahwa ‘pengetahuan’ tentang seksualitas dan hubungan antara ‘kekuasaan pengetahuan’ (Foucault, 1981: 122-123).

Relasi seksualitas dan kekuasaan tidaklah represif dan statis Berlawanan dengan pandangan Marxis, dalam hal ini, Foucoult menentang paham kekuasaan yang disatukan dari atas oleh pusat kekuasaan negara. Kekuasaan datang dari mana-mana. Dalam hal ini kekuasaan lebih berbentuk sesuatu yang produktif dan menghasilkan realitas.

Memahami kekuasaan dalam rangka seksualitas bukanlah memandang keduanya terpisah namun berada dan terlibat di dalamnya. Kekuasaan Foucouldian sebagaimana ditampilkan dalam iklan menunjukkan bahwa kekuasaan dalam relasi dengan seksualitas tidak dapat dilokalisasi, tetapi lebih merupakan tatanan disiplin serta kehendak untuk mendudukkan peran subjek dan objek.

Eksistensi iklan dalam berbagai media masih mendudukkan ‘pengetahuan’ bahwa perempuan sebagai objek pencitraan. Hal ini mengisyaratkan bahwa perempuan masih dalam peran objek atau dengan kata lain masih dikuasai oleh laki-laki. Keadaan ini tentunya cukup berpengaruh pada cara pandang media. Seperti difahami bersama banyak media masih menggunakan subjektivitas laki-laki dalam menyikapi peristiwa termasuk di dalamnya dalam memandang perempuan. Pada gilirannya perempuan diposisikan bukan sebagai ‘subjek’ pengguna bahasa, tetapi sebagai ‘objek tanda’. Perempuan dianggap sebagai komoditi ‘hiasan’. Bentuk bibir, mata, pipi, rambut, paha, betis, pinggul, perut, buah dada, dan warna kulit, semuanya menjadi fragmen-fragmen ‘tanda’ di dalam media yang digunakan untuk meng- karakteristik makna tertentu. Semua fragmen tanda ini menjadi ‘objek fetis’ yang bersifat ‘metonimis’. Artinya, fragmen-fragmen tersebut seakan-akan mewakili keseluruhan karakteristik dari tubuh dan jiwa perempuan itu sendiri sebagai yang dipuja dan penuh pesona.

Melalui sikap, gaya, dan penampilannya dalam media, perempuan telah mengkonstruksi dan menaturalisasikan tubuhnya secara sosial dan kultural sebagai ‘objek fetish’. Dalam hal ini perempuan justru menjustifikasi diri sebagai ‘obyek tontonan’ dalam rangka menjual komoditi dan sekaligus menjadi komoditi tontonan. Tanpa disadari, bahwa perempuan sebenarnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada dalam dunia obyek, dunia citra, dunia komoditi dari kaum laki-laki.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila keberadaan perempuan dalam iklan dipandang sebagai hal yang mutlak untuk dihadirkan untuk ditonton. Boleh dikata hampir semua produk atau jasa yang diiklankan, seperti mobil, motor, furnitur, iklan minuman, yang notabene bukan untuk perempuan juga dihiasai perempuan yang hampir pasti berwajah cantik bertubuh langsing, semampai, serta berpenampilan seksi.

Pencitraan perempuan yang serba berlebihan dan keberadaannya dalam iklan bukanlah serta merta menandai pergeseran dari dunia private ke dunia publik, dan terjadi pula pergeseran citra tentang perempuan dari keterkungkungan ke arah kebebasan. Hal ini justru sebagai ‘penegasan’ perempuan diposisikan sebagai objek.

Seperti difahami citra atau image merupakan gambaran mental yang muncul dalam menginterpretasi suatu objek atas dasar pengalaman semantik, simbolik, dan pengalaman psikologis. Pencitraan sendiri mempunyai dimensi ‘pernyataan’ yang luas yang menandai bahwa citra tidaklah netral tetapi terkait dengan faktor budaya serta ideologi yang diinternalisasi. Sejalan dengan hal itu, peran perempuan dalam iklan tak lebih menampilkan pergeseran yang terjadi sebatas pada citra perempuan glamour dan kebebasan yang semu. Pencitraan terhadap perempuan sarat dengan nilai-nilai patriarki dan kepentingan kelompok kapitalis dalam menjual produk. Perempuan dicitrakan sebagai objek sekaligus subjek konsumsi dari produk yang diiklankan. Citra perempuan tak lebih hanya memenuhi selera pasar. Sebuah citra yang direkayasa dari hasil kreativitas sebagai upaya membentuk komunikasi yang persuasif yang dapat menggerakkan perasaan dan membentuk citra terhadap komoditi atau produk yang ditawarkan. Batasan sebagai objek dan sasaran target pada perempuan masih cukup kuat melekat. Perempuan masih pada citra individu pasif dan konsumtif.

Masuknya perempuan di ranah publik, khususnya dalam dunia periklanan justru menjadikan perempuan menghadapi dua masalah besar. Pertama, perempuan menjadi sasaran target laki-laki yakni sebagai komoditas tontonan gratis. Kedua perempuan menjadi komoditas objek sekaligus sasaran target yang dapat memberi keuntungan melimpah bagi para produsen.

Dengan kata lain, citra perempuan tak ubahnya sebagai komoditi yang terekploitasi. Perempuan direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat memperlancar dan mempercepat akumulasi modal para kapitalis. Perempuan dipakai sebagai wahana promosi barang-barang produksi, tetapi juga dipakai sebagai sasaran target pasar barang. Pencitraan dirinya tak lepas dari upaya melahirkan dan menciptakan kesan dan daya tarik tertentu untuk produk yang ditawarkan. Citra glamour, cantik, dan berkesan tak ketinggalan jaman hanyalah rekayasa sebagai wahana promosi untuk memberi image terhadap suatu produk.

Perempuan dalam iklan tak lebih hanyalah dalam kapasitas citra yang memprojeksikan dan menstimulasi dunia mimpi yang hiperrealistik, yakni suatu cerminan dari citra perempuan namun sesungguhnya bukan mengenai perempuan itu sendiri. Hal ini senada dengan pendapat yang menyatakan bahwa iklan adalah acuan sebagai diskursus tentang realitas yang hiperrealistis. Tanda-tanda (citra) iklan tidak merefleksikan realitas, meskipun bercerita tentang realitas. Apa yang nampak hadir dalam iklan tidak lebih dari ilusi belaka atau rayuan terapetis yang tidak menceerminkan realitas sesungguhnya (Giaccardi dalam Suharko,1998: 324). Oleh karena itu, citra perempuan dalam iklan tidak lebih sebagai cerita budaya yang seolah-olah nyata, menyapa khalayak, namun sebenarnya dibangun dengan memanipulasi tubuh perempuan sebagai tanda dari simbol-simbol tertentu yang secara stereotip telah melekat pada dirinya, seperti keanggunan, kelembutan, kelincahaan, keibuan, kemanjaan, dan kehalusan.

Penampilan citra hiperrealistik dalam iklan cenderung berkaitan dengan segmen pasar yang dituju Seperti diketahui, sebagian besar produk yang diiklankan adalah produk untuk perempuan. Oleh karena itu dengan memanipulasi tubuh perempuan untuk menampilkan citra yang berkonotasi modern, berpikiran maju, tidak ketinggalan jaman, sekaligus cantik dan menarik merupakan upaya menghidupkan impresi dalam benak konsumen (perempuan) bahwa citra produk yang ditampilkan adalah juga bagian dari kesadaran budayanya, meskipun hal itu sebagai hasil rekayasa yang hanya mengedepankan aspek estetis.

Sesuatu yang tidak berlebihan bila dikatakan citra hiperrealistik turut andil dalam menjadikan perempuan dalam iklan hanya memainkan citra objek dekoratif. Hal ini tampak dari tampilannya yang hanya mementingkan aspek estetis katimbang aspek etis. Sebagai contoh citra perempuan yang ditampilkan dalam iklan mobil dengan pakaian yang seksi yang menyembulkan kemolekan tubuhnya, juga seperti pada iklan minuman dengan tampilan sembulan payudara perempuan seksi di belakang seorang laki-laki yang memegang gelas. Tubuh perempuan sering tampil sebagai simbol keanggunan dan kelincahan mobil, kenikmatan minuman, keindahan produk furniture, serta simbol berbagai produk dan desain pakaian yang menampakkan sisi-sisi erotis yang mengabaikan sisi etis.

Mencermati representasi iklan yang menampilkan tubuh perempuan, agaknya citra perempuan selain sebagai objek komoditi dan dekoratif, sekaligus disadari atau tidak telah melanggengkan citra subordinasi dalam ideologi kapitalis yang cenderung patriarkis.

SIMPULAN
Iklan sebagai media persuasif dalam penyampaian pesan tidak mungkin dalam penampilannya tanpa kreativitas perancangnya. Sebagai bagian penting dari aktivitas pemasaran, kreativitas perancangan mutlak diperlukan untuk menampilkan sosok iklan yang efektif dalam membujuk. Namun, idealnya iklan tetap harus mempertimbangkan etika yang berlaku di samping estetika.

Ketatnya persaingan dalam dunia iklan, pencitraan yang hiperrealistik dianggap sebagai upaya yang paling tepat dalam menciptakan iklan yang persuasif dan impresif. Tanpa disadari, pencitraan ini mengakibatkan bergesernya nilai guna pada nilai tukar. Komuditi dipandang dapat memenuhi harapan dan impian tidak dalam pemanfaatannya, tetapi dalam pemenuhan harapan dan impian. Kenyataan ini telah dianalisis dan diingatan oleh Max Hekheimer dan Teodor Adorno (dalam Ratna Noviani, 2002:18) akan bahaya dari kreativitas iklan yang hanya bertumpu pada teknik manipulatif, yang mengakibatkan nilai yang muncul pada produk adalah makna produk bagi konsumen, bukan nilai guna dari produk itu sendiri.

Iklan sebagai media komunikasi massa, idealnya mampu mengkonstruksi pesan yang diwakili. Oleh karena itu, model yang dipakai sebagai illustrasi iklan harus ditempatkan pada upaya merepresentasikan produk, bukan merepresentasikan model itu sendiri. Dengan demikian dapat dihindari pencitraan hiprrealistik yang memicu kegairahan atau ektasi untuk melakukan sesuatu yang belum tentu dipahami maknanya. Sebab, iklan dengan pencitraan hiperrealistik cenderung bermuara pada pembodohan khalayak konsumennya. Mungkin, tidak semua terimbas pembodohan, tetapi perlu diingat bahwa iklan harus juga mampu mempresentasikan kedalaman taraf berpikir khalayaknya. Iklan yang baik adalah iklan yang mampu menarik perhatian tanpa meninggalkan ‘human emotion’ (Suryoto, 2004: hal.J).

Sudah seharusnya khalayak dilihat sebagai individu yang aktif memproduksi makna bukan hanya konsumen pasif dari makna yang diproduksi iklan . Sebagai media massa, iklan harus melihat keragaman khalayak, yang tentunya tidak sama dalam proses penerimaan dan permaknaan atau interpretasi terhadap yang dipesankan iklan. Sebab dalam proses tersebut sangat terkait dengan kondisi sosial dan budaya serta pengalaman pribadi masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar